Tulisan ini adalah untuk meyikapi adanya permintaan suntik mati oleh pasien yang gencar mengungkapkan kata-kata suntik mati bagi pasien oleh keluarganya untuk mengakhiri penderitaan si pasien.
Permohonan atas suntik mati atas pasien saat ini menjadi kata yang sangat trendi di Indonesia saat ini, dengan mencuatnya permohonan tersebut di media cetak amupun elektronik. Tulisan ini kirany dapat menjadi pelajaran untuk perenungan bagi kita sebagai manusia yang beragama Islam.
Apalagi saat ini, sebagian masyarakat telah menghubung-hubungkannya dengan istilah hak asasi manusia, terhadap hal ini jika suntik mati dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia, akan berbeda pendapat dalam menjawabnya antara pro dan kontra terhadap pelaksanaan suntik mati tersebut.
Oleh karena itu terkadang hak asasi manusia bisa dikatakan sebagai momok yang seakan sangat menakutkan bagi setiap orang, karena segala sesuatu selalu akan dihubungkan dengan otonomi kemanusiaan itu sendiri. Akhirnya sulit menentukan apa sebenarnya makna yang dikehendaki oleh hak asasi manusia. Jika melihat kasus di negara Belanda yang telah melegalkan suntik mati atau dikenal dengan euthanasia pada prinsipnya bukan merupakan kesepakatan bulat dikalangan pemerintah Belanda, karena disatu sisi masih ada yang menolaknya dengan alasan terkait dengan hak asasi manusia.
Namun apapun alasannya Islam telah mengatur bagi mereka yang ingin mengakhiri hidupnya baik atas pemintaan sendiri maupun atas pertolongan orang lain (tim medis). Karena Islam sudah melarang untuk membunuh sebagaimana telah diungkapkan dalam surat An-Nisa ayat 29 dan bahkan diminta untuk saling bahu membahu. Hal ini sesuai diperkuat dengan surat al-Maidah ayat 32.
Dalam ayat tersebut hendaknya kita menghormati jiwa orang lain, sebagaimana kita menghormati dan menjaga jiwa kita sendiri. Dengan adanya sifat kasih sayang Allah maka hal itu sesungguhnya mengajarkan kepada kita sebagai manusia untuk saling menyayangi, mencintai, tolong menolong dan memelihara harta serta melindungi diri jika keadaan membutuhkan perlindungan.
Islam pada hakekatnya melarang adanya pembunuhan. Islam sangat menghargai jiwa seseorang, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Hidup dan mati menurut Islam merupakan kekuasaan Allah. Walaupun itu adalah hak asasi tetapi ia adalah anugerah. Oleh karena itu, seseorang tidak mempunyai wewenang sama sekali untuk melenyapkan jiwa manusia tanpa kehendak dan aturan Allah swt.
Allah juga berfirman dalam surat al-Isra’ ayat 33 : “Janganlah kamu membunuh seseorang yang dilarang Allah , kecuali demi kebenaran” dan dalam surat al-An’am ayat 151. Kedua ayat tersebut menjelaskan bagaimana sesungguhnya orang tersebut hanya boleh dibunuh. Dan dalam hal apa saja orang tersebut dapat melakukan pembunuhan.
Dalam surat lainnya Allah berfirman pada Surat al-Hijr ayat 23 dan an-Najm ayat 44 yang menunjukkan agar manusia tidak memandang rendah terhadap jiwa manusia, sehingga Alah memberikan ancaman dan peringatan bagi orang yang meremehkannya. Tindakan merusak ataupun menghilangkan jiwa dan raga milik orang lain maupun jiwa dan raga milik sendiri merupakan perbuatan yang tidak terpuji dan dianggap melawan hukum Allah. Adanya peringatan dan ancaman dari Allah swt dalam rangka memelihara dan melindungi jiwa manusia secara keseluruhan, sebagaimana diungkapkan dalam Surat al-Baqarah ayat 179.
Namun bagi mereka yang mau berpikir mendalam kiranya hadis dari Jundub bin Abdullah yang diriyawatkan oleh Bukhori ini dapat menjadi pelajaran karena Rasulullah SAW bersabda : “Ada dimasa dahulu sebelum kamu seorang yang menderita luka, tiba-tiba ia jengkel lalu mengambil pisau dan mengiris lukanya, maka tidak berhenti darahnya hingga ia mati, berfirman Allah swt: hambaku akan mendahului aku terhadap dirinya (jiwanya), maka aku haramkan surga atasnya”. Adapun yang dimaksud dengan haram disini adalah haram karena ia telah membunuh dirinya dan tidak sabar menerima ujian Allah.
Oleh karena itu, orang yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan yang dibolehkan dan dibenarkan agama, menurut Islam sama halnya dengan merusak tatanan kehidupan masyarakat seluruhnya. Karena Islam memberikan penghargaan yang begitu besar terhadap jiwa manusia.
Dilihat dari segi nas-nya, menunjukkan bahwa Islam secara tegas melarang bunuh diri dan membunuh jiwa orang lain. Kalau melihat segi unsur jarimah dalam hukum Islam maka seseorang yang melakukan euthanasia telah mengandung unsur jarimah yaitu suatu tindakan yang membentuk suatu perbuatan jarimah, baik perbuatan nyata maupun sikap tidak berbuat. Sebagai contoh dari jarimah ini adalah biasanya upaya untuk mengurangi beban pasien dalam penderitaannya melalui suntikan dengan bahan pelemah saraf dalam dosis tertentu (neurasthenia). Sementara aspek pelaku sudah jelas terdiri dari dokter, pasien dan keluarga pasien.
Terhadap hal seperti ini tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan selain yang telah disebutkan sebelumnya juga karena kemungkinan lain bisa terjadi bahwa pihak keluarga (tertentu) bekerja sama dengan dokter untuk mempercepat kematian pasien, karena menginginkan harta/milik pasien dan faktor amoral lainnya.
Jika dilihat dengan adanya permintaan suntik mati untuk mengakhiri hidup seorang pasien yang gencar diberitakan saat ini kiranya perlu dipertimbangkan kembali bahwa Islam jelas sudah melarang dan bahkan Allah SWT mengancam orang yang terlibat dalam masalah suntik mati atau euthanasia ini.
Oleh karena itu, maka jika permintaan tersebut dilakukan karena :
Pertama, Alasan Pasien; bahwa pasien sudah tidak tahan menanggung derita yang berkepanjangan, tidak ingin meninggalkan beban ekonomi, atau tidak punya harapan sembuh, adalah suatu refleksi dari kelemahan iman. Sakit adalah satu bentuk ujian kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau diselesaikan dengan mengakhiri diri sendiri melalui euthanasia/suntik mati. Kalaupun pandangan medis bahwa pasien tidak dapat disembuhkan lagi, atau biaya untuk meneruskan pengobatan terlalu mahal, maka tidaklah salah kalau ia meminta pulang saja dari rumah sakit. Seandainya diyakinkan bahwa apabila pengobatan dihentikan, ia akan meninggal dunia, maka tindakan keluar dari rumah sakit atau penghentian pengobatan tidak berarti bunuh diri. Hal ini disebabkan kemampuan ekonomi pasien (keluarga) sudah tidak memungkin lagi. Pemulangan pasien seperti ini sudah sering terjadi dan para dokter diperkenankan melepaskannya, karena prosedurnya sudah ada, maka yang bersangkutan tidak akan terkena larangan Allah yaitu sebagai tindakan bunuh diri. Bunuh diri berarti mengingkari rahmat Allah sebagaimana firman-Nya dalam surat an-Nisa ayat 29 dan surat Yusuf ayat 87. Rasulullah telah bersabda sebagaimana diriwayatkan Bukhori bahwa orang yang mencekik dirinya sendiri, maka Allah mencekiknya dan menikamnya di dalam neraka”
Alasan kedua yaitu dari pihak keluarga yang merasa kasihan kepada pasien, atau karena tidak sanggup lagi menanggung biaya perawatan, maka apabila diselesaikan dengan euthanasia/suntik mati, sementara penderita masih terlihat menyimpan tanda-tanda kehidupan berarti perbuatan itu tergolong pembunuhan sengaja, berarti orang yang melakukannya akan terkena al-Qur’an surat an-Nisa ayat 93.
Dalam ayat tersebut juga tidak dibedakan apakah dilakukan atas kasihan atau karena keluarga kekurangan biaya ataupun alasan lain di luar dari yang haq, semuanya dilarang Allah, walaupun tindakan itu disertai dengan kerelaan si korban. Begitu juga kiranya apabila dilakukan tanpa sepengetahuan si pasien, maka hal ini dikategorikan sebagai pembunuhan sengaja.
Syaikh Muhammad Yusuf al-Qardawi mengatakan bahwa kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya (jiwanya), organ tubuhnya, ataupun sel-selnya. Diri manusia pada hakikatnya hanyalah sebagai barang titipan yang diberikan Allah. Oleh karena itu tidak boleh titipan ini diabaikannya, apalagi memusuhi dan melepaskannya dari hidup. Islam menghendaki kepada setiap muslim hendaknya selalu optimis dalam menghadapi setiap musibah. Oleh karena itu, Islam tidak membenarkan dalam situasi apapun untuk melepaskan nyawanya hanya karena ada suatu bala’ atau musibah yang menimpanya atau karena gagal dalam cita-cita yang dimpi-impikan. Sebab seorang mukmin diciptakan justru untuk berjuang, bukan untuk lari dari kenyataan. Sebab setiap mukmin mempunyai senjata yang tidak bisa sumbing dan mempunyai kekayaan yang tidak bisa habis yaitu senjata iman dan kekayaan budi.
Oleh karena itu, Islam melarang seseorang yang menderita sakit berkeinginan mempercepat kematiannya. Bahkan berdoa untuk minta dipercepat kematiannya-pun tidak diperbolehkan.
sumber