Inilah adalah kajian yang sangat menarik, apalagi masyarakat kita dikenal adalah masyarakat yang religious. Homoseksual dalam pandangan agama apapun adalah sebuah penyimpangan, bahkan merupakan sebuah tindakan yang sangat jauh menyimpang.
Psikologi, adalah kajian ilmiah, bukan merupakan sebuah kepercayaan semata. Sehingga pandangan antara psikologi dan agama dalam memandang homoseksual kemungkinan akan jauh berbeda, perbedaan antara sebuah keyakinan dan sebuah kajian ilmiah. Yang mana yang bebar, tergantung pada pilihan anda.
Dalam kajian ilmu psikologi, homoseksual sudah bukan lagi merupakan sebuah penyimpangan. Dalam DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder / buku acuan diagnostik secara statistikal dalam menentukan gangguan kejiwaan), tidak ditemukan lagi homoseksual sebagai gangguan kejiwaan dengan alasan bahwa kaum mohoseksual tidak merasa terganggu dengan orientasi seksualnya, bahkan bisa merasa bahagia dengan orientasi seksualnya tersebut. DSM adalah buku panduan psikologi dalam menentukan normal tidaknya sebuah perilaku.
Sebelumnya pada DSM I (1952) menyatakan bahwa homoseksual adalah gangguan sosio phatik, artinya perilaku homoseksual tidak sesuai dengan norma sosial, sehingga merupakan perilaku yang abnormal. Pada DSM II (1968) menyatakan bahwa homoseksual adalah penyimpangan seks (sex deviation), dipindahkan dari kategori gangguan sosio phatik. Dan pada DSM III (1973) menyatakan bahwa homoseksual dikatakan gangguan jika orientasi seksualnya itu mengganggu dirinya. Dan pada revisi DSM III homoseksual sudah dihapus sebagai sebuah gangguan. Bahkan menurut Robert L. Spitzer (ketua komite pembuatan DSM III saat itu) menyatakan bahwa homoseksualitas tidak lebih dari sebuah variasi orientasi seksual. Tidak lebih dari itu.
Bagaimana homoseksual dalam pandangan agama? Sudah tentu dan kita sudah ketahui bahwa agama apapun tidak membenarkan perilaku homoseksual, terkecuali pada beberapa sekte-sekte agama tertentu. Kembali pada kitab suci agama masing-masing, perilaku homoseksual adalah perilaku yang sudah jauh menyimpang.
Yang menjadi pertanyaan adalah: apakah kaum homoseksual bukanlah seorang penganut agama ataupun keyakinan tertentu? Kaum mohoseksual pada dasarnya adalah manusia biasa, punya rasa kemanusiaan, mempunyai kehidupan spiritual, dan ketertarikan seks, hanya arahnya yang tidak sesuai dengan orang kebanyakan.
Bagaimana jika kaum homoseksual menganut sebuah agama atau kepercayaan yang jelas-jelas menentang perilaku tersebut? Ini adalah pertanyaan yang sering saya dapatkan dari teman-teman lesbi ataupun gay selama ini. Mereka sadar dan tahu bahwa agama mereka melarang perilaku tersebut, tetapi mereka tidak punya daya untuk keluar dari masalah mereka. Sebagian dari mereka adalah adalah orang-orang taat/rajin beribadah, bahkan ada yang berlatar pendidikan agama dan bergelut dengan aktivis keagamaan. Hanya saja, perilaku seksual mereka selalu ditutup rapat-rapat.
Dalam psikologi ada sebuah teori yang mungkin sedikit menjelaskan tentang ini, dimana keyakinan dan kepercayaan serta kebiasaan bertolak belakang. Teori itu adalah “Teori Disonansi Kognitif (Cognitive Dissonance Theory)”. Teori disonansi kognitif merupakan sebuah teori yang membahas mengenai perasaan ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan perilaku yang tidak konsisten.
Kaum homoseksual, berdasarkan pandangan mereka pada perilakunya, dapat dibagi menjadi dua yaitu yang menerima perilaku homoseksual itu sendiri dan yang tidak menerima tetapi tidak punya daya untuk mengatasi masalahnya.
Kaum homoseksual yang biasanya menerima perilaku homoseksualnya sebagai sebuah aktivitas seksual yang membawa kesenangan, dan dapat menikmati hubungan homoseksual (gay dan lesbian), biasanya tidak terlalu memikirkan akan adanya pertentangan antara perilakunya dengan keyakinan agama dan kepercayaan yang dianutnya. Mereka akan berusaha meyakinan masyarakat yang selama ini menolak perilaku homoseksual sebagai sebuah penyimpangan. Kaum homoseksual ini bahkan sudah banyak yang mendapatkan legalisasi hubungan mereka dibeberapa negera-negara Eropa dan beberapa Negara bagian di Amerika Serikat.
Berbeda dengan kaum homoseksual yang tidak menerima perilakunya sendiri, karena adanya perbedaan akan perilakunya selama ini dengan agama dan keyakinan yang dianutnya. Selain itu, masyarakat juga masih massif menentang akan perilaku tersebut. Masyarakat belum bisa menerima perlaku homoseksual mereka. Inilah yang saya maksud mereka mengalami disonansi kognisif, dimana keyakinan yang dimiliki oleh kaum homoseksual berbeda dengan perilakunya, tetapi mereka tidak punya daya untuk keluar dari masalahnya.
Kaum homoseksual yang mengalami disonansi kognitif sebenarnya adalah sebuah penyimpangan tingkah laku. Bantuan psikologis memang bisa diberikan kepada kaum homoseksual yang mengalami disonansi kognitif ini untuk membantu menyelaraskan antara keyakinan yang dimiliki, dan nilai-nilai yang dianut dengan perilakunya yang abnormal.