Kata orang sih agak sulit menghargai orang lain. Bisa jadi pendapat ini benar. Karena secara fitrah, manusia selalu ingin “dihargai”, bukan “menghargai”. Artinya, manusia itu benar-benar egosentris. Dia selalu ingin “difahami”, namun jarang sekali berusaha untuk “memahami”. Akibatnya, berat untuk hormat dan menghargai orang lain.
Dalam Islam, sikap menghargai orang lain merupakan identitas seorang Muslim sejati. Seorang yang mengakui dirinya Muslim, ‘wajib’ mampu menghargai orang lain. Baginda Rasulullah SAW menjelaskan, “Tidak termasuk golongan umatku orang yang tidak menghormati mereka yang lebih tua dan tidak mengasihi mereka yang lebih muda darinya, serta tidak mengetahui hak-hak orang berilmu.” (HR. Ahmad).
Menghormati Orangtua…
Siapa saja, yang penting orangtua. Bisa jadi orangtua kita sendiri: ayah dan ibu kita. Atau orang lain: tetangga, kakak, senior di kampus, senior di madrasah, dlsb. Orang yang terbiasa menghargai orang lain adalah indikasi etika (moral) yang baik. Orang yang tidak mau hormat dan menghargai orang yang lebih tua darinya, diancam ‘keluar’ dari koridor Islam. Ia tidak akan dianggap sebagai umat Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Na‘udzu billah min dzalik!
Menyayangi Orang Muda…
Orangtua wajib menyayangi anak-anaknya. Ini adalah naluri kemanusiaan. Kita seharusnya meniru sikap orangtua kita yang menyayangi kita. Sehingga, kita bisa menjadi pengayom orang yang lebih muda dari kita. Bisa jadi adik kita, junior di sekolah atau di kampus. Atau bisa jadi anak tetangga yang lebih muda dari kita. Kita harus bisa menimbulkan rasa rahmat (kasih-sayang) kita kepada mereka.
Orang yang lebih tua tidak boleh mencerca atau menghina juniornya. Begitu juga sebaliknya. Orang yang suka mencerca dan mencela serta menghina saudaranya mengindikasikan bahwa dia juga sebenarnya “orang hina”, tidak terhormat. Abu Hurairah ra menuturkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda, “Hanya orang burung yang menghinakan saudaranya sesama Muslim.” (HR. Muslim).
Menghargai ‘Ulama’…
Mereka adalah waratsatul anbiyâ’, kata Baginda Rasul. Pewaris para nabi. Mereka mewarisi tugas para nabi: [1] menyampaikan ilmu dan [2] menyampaikan risalah Allah. Maka mereka ‘wajib’ untuk dihormati. Para ulama pun sepakat bahwa ulama yang benar (ilmu dan amalnya) dagingnya ‘haram’ dimakan. Artinya, kehormatannya tidak boleh dicederai. Apalagi jika sampai dicaci-maki. Menurut Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, ulama itu terbagi dua: [1] ulama yang baik (ilmu dan amalnya) dan [2] ulama su’ (jelek atau buruk ilmu dan amalnya). Ulama model kedua ini lah yang tidak layak dihormati dan dihargai.
Menghargai orang lain sebenarnya ‘kunci’ pemikat qalbu. Sehingga orang lain juga terpikat untuk menghargai kita. Tidak ada yang sulit sebenarnya, jika semuanya dikembalikan ke qalbu masing-masing. Jika selama ini kita merasa –selalu–ingin dihormati dan dihargai, di lembah yang sama, orang lain juga ingin diperlakukan demikian. Dengan begitu, egoisme tidak akan muncul. Yang lahir adalah ‘simbiosis mutualisme’: saling hormat-menghormati, saling harga-menghargai. Itu lah ciri dan identitas umat Nabi Muhammad SAW. Maka belajarlah untuk menghargai orang lain!
Dalam Islam, sikap menghargai orang lain merupakan identitas seorang Muslim sejati. Seorang yang mengakui dirinya Muslim, ‘wajib’ mampu menghargai orang lain. Baginda Rasulullah SAW menjelaskan, “Tidak termasuk golongan umatku orang yang tidak menghormati mereka yang lebih tua dan tidak mengasihi mereka yang lebih muda darinya, serta tidak mengetahui hak-hak orang berilmu.” (HR. Ahmad).
Menghormati Orangtua…
Siapa saja, yang penting orangtua. Bisa jadi orangtua kita sendiri: ayah dan ibu kita. Atau orang lain: tetangga, kakak, senior di kampus, senior di madrasah, dlsb. Orang yang terbiasa menghargai orang lain adalah indikasi etika (moral) yang baik. Orang yang tidak mau hormat dan menghargai orang yang lebih tua darinya, diancam ‘keluar’ dari koridor Islam. Ia tidak akan dianggap sebagai umat Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Na‘udzu billah min dzalik!
Menyayangi Orang Muda…
Orangtua wajib menyayangi anak-anaknya. Ini adalah naluri kemanusiaan. Kita seharusnya meniru sikap orangtua kita yang menyayangi kita. Sehingga, kita bisa menjadi pengayom orang yang lebih muda dari kita. Bisa jadi adik kita, junior di sekolah atau di kampus. Atau bisa jadi anak tetangga yang lebih muda dari kita. Kita harus bisa menimbulkan rasa rahmat (kasih-sayang) kita kepada mereka.
Orang yang lebih tua tidak boleh mencerca atau menghina juniornya. Begitu juga sebaliknya. Orang yang suka mencerca dan mencela serta menghina saudaranya mengindikasikan bahwa dia juga sebenarnya “orang hina”, tidak terhormat. Abu Hurairah ra menuturkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda, “Hanya orang burung yang menghinakan saudaranya sesama Muslim.” (HR. Muslim).
Menghargai ‘Ulama’…
Mereka adalah waratsatul anbiyâ’, kata Baginda Rasul. Pewaris para nabi. Mereka mewarisi tugas para nabi: [1] menyampaikan ilmu dan [2] menyampaikan risalah Allah. Maka mereka ‘wajib’ untuk dihormati. Para ulama pun sepakat bahwa ulama yang benar (ilmu dan amalnya) dagingnya ‘haram’ dimakan. Artinya, kehormatannya tidak boleh dicederai. Apalagi jika sampai dicaci-maki. Menurut Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, ulama itu terbagi dua: [1] ulama yang baik (ilmu dan amalnya) dan [2] ulama su’ (jelek atau buruk ilmu dan amalnya). Ulama model kedua ini lah yang tidak layak dihormati dan dihargai.
Menghargai orang lain sebenarnya ‘kunci’ pemikat qalbu. Sehingga orang lain juga terpikat untuk menghargai kita. Tidak ada yang sulit sebenarnya, jika semuanya dikembalikan ke qalbu masing-masing. Jika selama ini kita merasa –selalu–ingin dihormati dan dihargai, di lembah yang sama, orang lain juga ingin diperlakukan demikian. Dengan begitu, egoisme tidak akan muncul. Yang lahir adalah ‘simbiosis mutualisme’: saling hormat-menghormati, saling harga-menghargai. Itu lah ciri dan identitas umat Nabi Muhammad SAW. Maka belajarlah untuk menghargai orang lain!