Siapa bilang menjadi anggota DPR itu susah? Tinggal pajang pamplet dan baliho besar-besar, sedikit dibumbui dengan bagi-bagi sembako atau yang lainnya, jadi deh orang beken mendadak. Masyarakat yang masih jauh dari pendidikan politik yang sehat, tidak akan pikir panjang, siapa yang dipilihnya, yang penting memilih, dan yang lebih sadar sedikit, lebih memilih golput. Dan yang lebih sadar akan politik, rame-rame mendaftar jadi caleg. Sok jadi orang hebat, sok pintar bicara, berbohong dikit tidak jadi masalah yang penting terpilih.
Lantas, setelah terpilih, apa pekerjaan mereka? Pekerjaan mereka tidak lebih seperti menggebukin maling yang tertangkap. Mereka tidak lupa jati diri mereka yang memang besar dijalanan, dan referensi pengetahuan mereka “yang penting rame-rame”. Korupsi rame-rame, menggebukin orang yang tertuduh korupsipun harus rame-rame. Tidak ada bedanya dengan mereka-mereka, karena memang kebanyakan Anggota DPR kita berasal dari “sana”. Mereka bukan orang yang sadar politik, tapi melihat peluang yang besar mendapatkan untung lebih banyak menjadi anggota DPR. Motifnya adalah uang.
Ada kasus korupsi, solusi mereka adalah pansus. Kenapa harus pansus. Karena “enaknya rame-rame”. Jika kasus korupsi hanya masuk ke meja hukum, yang terkenal hanya aparat hukum, mereka tidak ikut neben beken. Mereka tidak memberikan kontribusi bagaimana politik bisa menguatkan hukum, dengan membuat undang-udang yang mendukung. Mereka takut, jika hukum kuat, ia akan balik digebukin rame-rame oleh teman-teman mereka.
Kasus Century, misalnya. Bagaimana ngototnya anggota DPR membuat pansus. Keputusan mereka hanya dalam bentuk rekomenasi hukum, hanya membuang-buang waktu dan biaya saja pada pansus. Sampai sekarang, belum selesai, karena bukan hukumnya yang diperkuat, tapi siapa yang lebih vocal bicara, akan lebih beken dikepala mereka. Akhirnya kena juga salah satu anggota pengusung pansus getahnya. Kenapa pada kasus century harus ada pansus? Jawabannya karena enaknya rame-rame. Tidak ada pekerjaan lain yang bisa mereka kerjakan selain itu. Padahal undang-undang Jaminan Kesejahteraan Rakyat yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat banyak tidak mereka selesaikan, karena tidak ada perhatian untuk itu. Kembali lagi kepada motif mereka menjadi anggota DPR, undang-undang kesejahteraan rakyat bukan proyek, tidak menguntungkan…uangnya kurang…
Nazaruddin, sungguh malang nasibmu. Selama ini engkau juga ikut memukul rame-rame, eh sekarang balik dipukul rame-rame. Mungkin benar kata filosofi tetangga, yang kuat yang akan menang. Sekarang engkau lemah, karena berusaha membakar rumah sendiri. Bukan hanya saudara serumah yang menggebukin, tapi seluruh teman-teman yang hobinya “rame-rame”.
Sebelumnya, ada kasus pemilihan Gubernur BI. Merekapun rame-rame, dan sudah diputuskan perkaranya pula dengan rame-rame. Kasus pemalsuan surat dari MK, beberapa anggota DPR mengusulkan dibentuk pansus, karena kurang “rame” yang mendukung, sehingga tidak jadi dibentuk. Sekarang mencuat kasus dari Menakertrans, beberapa aggota DPR sudah ada yang mengisukan pembentukan pansus. Karena sudah jelas siapa yang akan ditembak, maka sebaiknya rame-rame. Tinggal tunggu waktu, apakah cukup rame yang akan mendukung pansus ini atau akan menghilang begitu saja.
Pertanyaan adalah, mengapa anggota DPR kita hobinya bikin pansus? Apakah pansus cukup efektif menanggulangi semua masalah hukum? Saya kira kita sudah tahu jawabannya. Kembali lagi ke niat dan kebiasaan anggota DPR kita “yang penting rame-rame”….