Pin It

6 Mitos Salah Tentang Otak

 
 
 
 
 
 
2 Votes

OK, this article will ruin some of your dreams, but 1 of our holy missions is to educate you about the truth, so, prepare yourself for this article. Fakta tentang otak dan kecerdasan seringkali dipelintir oleh guru, peneliti gadungan, Hollywood dan kawan-kawan demi kepentingan mereka sendiri; dan akhirnya memberi orang-orang harapan palsu tentang kemampuan mereka.
OK, memang kami bukan dokter spesialis otak, tapi sepertinya fakta-fakta ini cukup simpel dan jelas dan, well, walaupun sebagian dari kalian sudah tahu bahwa beberapa mitos ini adalah bullshit, tapi kami yakin sebagian besar pembaca kami tidak tahu bahwa mitos2 ini benar2 keliru.
Mitos seperti……
6. Otak kiri logika, otak kanan kreativitas.
Nah, yang ini adalah mitos yang kami yakin semua pembaca tertipu mentah-mentah! Mulai dari orangtua, guru, dosen, politikus hingga artis dangdut kesukaan Anda pasti pernah menekankan hal ini dan menyuruh Anda untuk menyeimbangkan penggunaan otak kanan dan otak kiri Anda agar menjadi orang yang seimbang.
Dan kami yakin, pada suatu poin dalam hidup Anda, Anda pernah memakai mitos ini sebagai alasan ketidakmampuan Anda dalam melakukan sesuatu.

We’re really sorry but it turns out that you can’t use that reasoning again next time.
Kebenarannya:
Mitos yang sangat populer ini sebenarnya adalah pemikiran yang sudah lawas dari ilmuwan2 jaman dahulu. Dengan “lawas”, kita berbicara tentang abad, ehm, 19. Menariknya, teori uzur ini menjadi sangat populer karena ada pengarang bernama Robert Louis Stevenson yang membuat cerita “The strange case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde” yang berdasar pada teori ini.

Pada kenyataannya, walaupun otak memang mempunyai struktur yang spesial untuk memproses fungsi-fungsi yang berbeda, namun ternyata tidak sesimpel membagi dua antara otak kanan dan otak kiri. Sebagai contoh, walaupun otak kiri memang mewakili exact computation, namun ternyata kita membutuhkan otak kanan untuk melakukan approximate computation, komparasi numerik, dan melakukan estimasi. Sounds complicated? Kalau iya, ini adalah bukti bahwa otak kanan ternyata tidak se-tidak logis itu, para seniman

Jadi janganlah lagi menyalahkan setengah otak Anda yang tidak mampu melakukan sesuatu. By the farting Gods, If you spend your whole time trying to become the next Kurt Cobain, no wonder you failed your math tests. Itu bukan salah otak Anda. Itu pilihan yang Anda ambil sendiri.
5. Main video game pengasah otak bikin lu pinter!

Siapa coba yang nggak suka dengan ide ini? Main game biar jadi lebih pinter, cuy! Enak abis, demi Herkules! Kemungkinan besar Anda juga pernah menggunakan alasan ini ketika dosen atau bos Anda memergoki kebiadaban Anda bermain sudoku atau Texas Holdem Poker pada jam kuliah atau jam kerja.

Kebenarannya:
Walaupun memang bermain video game tertentu dapat meningkatkan kemampuan kita dalam beberapa hal khusus, penelitian baru dari Florida State University menunjukkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara bermain video game dan kemampuan otak secara general, dan riset-riset terdahulu yang menunjukkan bahwa kemampuan kognitif seseorang dapat terasah dengan bermain game tidak dapat direplikasi dengan baik dan mungkin memiliki suatu kesalahan metode dalam penelitiannya.
Seperti bodybuilding, Anda membutuhkan latihan tertentu untuk membentuk suatu bagian tertentu. Anda tidak dapat mempunyai bisep segede Arnold kalau satu2nya olahraga yang Anda lakukan hanya bermasturbasi. Nah, hal yang sama berlaku pada otak. Kalau Anda bermain Counter Strike 8 jam sehari, satu2nya yang akan berkembang adalah koordinasi mata-otak-jari Anda. Kemampuan Anda dalam menembak dan menjadi tentara tidak akan meningkat, cos you didn’t really shoot, dummy, you clicked on the mouse! Dan kalau Anda ingin jadi lebih pintar di fisika, jangan buang waktu Anda bermain Angry Birds, bro, itu tidak akan meningkatkan pengetahuan Anda tentang analisa gerak parabolis secara fisis. Buka lagi buku fisika dasar Anda, pemalas!

Berbicara tentang cara instan menjadi pintar…..
4. Dengerin mozart waktu bayi bikin lu pinter.
Sebagian besar dari Anda juga pasti pernah mendengar tentang “Mozart Effect”, yang diklaim dapat meningkatkan IQ anak Anda apabila diperdengarkan terus menerus, preferably since pregnancy. No learning needed, just listen! Easy as hell way to success!

Hell, negara bagian Georgia di Amerika Serikat mengeluarkan 105,000US$ setiap tahun untuk memberi CD atau kaset musik klasik bagi semua bayi yang baru lahir. 10 miliar rupiah setiap tahun dan IQ anak Anda naik! Holy bloodsh*ttin’ cheap!
Kebenarannya:
Janji-janji tentang sukses secara mudah memang sangat menarik secara bisnis. Awal dari kegilaan Mozart ini sebenarnya adalah sebuah studi dari University of California yang mencoba mempelajari hubungan antara musik klasik dan IQ dengan cara memberikan musik klasik selama 10 menit kepada 36 orang mahasiswa sebelum mengerjakan tes IQ. Studi ini menunjukkan bahwa nilai tes spatial-reasoning mahasiswa2 tersebut meningkat antara 8-9 poin dibandingkan apabila mereka tidak mendengarkan musik klasik.
Setelah dimuat oleh beberapa surat kabar, thanks to mass media, yang memang hobi membuat berita heboh, isu ini terpelintir menjadi generalisasi yang menyebutkan, “mendengarkan Mozart meningkatkan kecerdasan!” Berita ini menghebohkan dunia dan seorang musisi dan kritikus musik bernama Don Campbell melihat uang di balik riset ini.
Entah kerasukan setan uang darimana, Campbell menghubungkan riset ini dengan inteligensia, kesehatan, emosi, dan kreativitas. Pada 1996 dia mematenkan nama dagang Mozart EffectTM dan menjual buku, kaset rekaman ceramahnya, dan kompilasi album2 Mozart yang menjanjikan kecerdasan bagi anak2. Brand ini laris manis dibeli ibu2 yang berharap anak2nya menjadi bayi Einstein; set buku dan rekaman Mozart Effect for Children saja sudah terjual lebih dari 2 juta kopi di Amerika pada 2008. Now you see why this crap is popular, right? There is so much money involved here.

But you have to throw away your dream of increasing your children’s IQ easily, cheap moms. Mitos ini sudah beratus-ratus kali dibantah oleh periset2 yang mengatakan bahwa riset yang dilakukan University of California itu tidak valid menurut standar, bahwa 36 responden terlalu sedikit, bahwa hasil riset tidak pernah mengatakan “mendengarkan Mozart meningkatkan kecerdasan”, tidak ada yang berhasil mereplikasi hasil riset tersebut, dll. Universitas Vienna bahkan melakukan riset yang lebih valid dengan 3000 responden dan mengatakan bahwa Mozart effect tidak terjadi sama sekali di sana.
So for pregnant moms, kalian juga tetap dapat mendengarkan Ayu Tingting ataupun Justin Bieber; tidak perlu memaksakan diri mendengarkan musik yang bikin ngantuk itu, tidak akan ada efeknya terhadap kecerdasan bayi yang kalian kandung. Oh, dan setelah lahir, tidak perlu pusing2 memasang Mozart keras2 di dalam rumah, tidak akan ada bedanya dari apabila kalian putar lagu2 KoRn atau Lil’ Wayne.


3. Makin tua otak makin busuk.

This one is a curious one. Di satu sisi kakek dan nenek kita sering terlihat linglung, melupakan hal-hal sepele, memanggil kita dengan nama ayah/ibu kita, dan sering sekali mengeluh bahwa dunia sekarang terlalu berisik. Berarti otak mereka menjadi jelek, bukan? Namun di sisi lain hampir semua pemimpin pemerintahan dan perusahaan adalah orang-orang tua. Albert Einstein di akhir hidupnya masih menulis rumus yang kita semua tidak mengerti itu apa dan Nikola Tesla meneliti sesuatu yang bernama Death Ray di akhir hidupnya! Yup, bukan salah tulis, DEATH Ray! Wow! Kenapa bisa begini???

Kebenarannya:
Ternyata selain orang-orang yang menderita penyakit seperti Alzheimer atau Dementia, sebenarnya otak orang tua tidak menjadi lebih buruk seiring berjalannya waktu. Bagian tubuh yang lain memang cenderung menjadi rapuh, tapi ternyata tidak dengan otak! Otak orang tua hanya akan bertransformasi secara struktur, menjadi sedikit berbeda dari otak anak muda.

Tentang linglung, ternyata yang terjadi di orang tua adalah kemampuan mereka untuk mengingat recent memory berkurang, karena otak mereka sudah teroptimasi. Namun ternyata short-term dan remote memory mereka masih sama baiknya dengan orang muda, terutama yang sering digunakan, such as, thinking about politics for politicians. Dan karena mereka mempunyai pengetahuan yang lebih luas dari anak-anak muda, mereka lebih bijaksana dan tidak mudah terbawa. Maka dari itulah pembuat keputusan adalah orang-orang tua.

Kalau tentang mereka sering merasa sekitar mereka ribut, itu adalah karena otak mereka dapat memproses semua hal yang terjadi dengan sangat cepat. Riset yang dilakukan oleh Harvard yang memberikan sebuah bacaan yang sesekali disisipi kalimat2 yang tidak berhubungan menunjukkan bahwa orang tua memproses lebih banyak informasi daripada anak-anak muda. Maka dari itu mereka lebih bijaksana dalam melakukan problem solving. Mereka memproses semua info yang tidak terdeteksi oleh otak anak muda dengan baik.
Nah, efek buruknya, mereka jadi sensitif terhadap semua hal yang terjadi. Sebuah obrolan di lantai bawah yang hampir tidak terdengar oleh kita dapat didengarkan dengan jelas oleh mereka. Maka dari itu mereka lebih memilih tinggal di tempat yang sepi. They have superhuman brain sensitivity yang kalian semua tidak punya!

2. Kalo otak lu gede, berarti lu pinter.
Ini juga sering sekali diucapkan oleh ibu-ibu yang super optimis, “Waaah, kepala anakku besar ya,, pasti pinter nanti gedenya.”

Kebenarannya:
Well if it’s true, then why the largest brain on earth, sang paus biru yang berotak 9 kilogram, tidak menjadi penguasa dunia, memperbudak manusia dan memaksa kita menyembah Moby Dick??
Pertama, selain untuk primata dan selain yang otaknya terlalu kecil, yang menentukan kepandaian lebih mungkin adalah rasio dari massa otak dan massa tubuh. Sebagai perbandingan, untuk manusia rasionya adalah 1:50, untuk mamalia lain sekitar 1:180, bahkan untuk ikan hiu sekitar 1:2496. Otak mengambil lebih banyak berat dari tubuh manusia daripada hewan-hewan lainnya. That means if your kid has a big head, but has a big body as well, he’s not a genius, he’ll probably be a bully kid.

Yang kedua, walaupun memang menurut beberapa survei orang berotak lebih besar cenderung lebih pintar, namun ternyata tidak sesimpel itu kenyataannya. Ternyata yang membuat orang lebih pandai adalah ukuran dari bagian tertentu dari otak. Albert Einstein mempunyai ukuran otak yang sama dengan orang normal lainnya, tetapi bagian tertentu dari otaknya lebih besar dari ukuran normal, termasuk bagian2 yang mempengaruhi pemikiran matematis, and most of you don’t.
Jadi kalau otak Anda besar, tapi 50% dari isinya adalah Sasha Grey, (Editor’s note: link’s in Arabic so you won’t masturbate after reading this article), well, kalo isinya dia semua, you won’t get anywhere but porn sites.

But yes, talking about brain development will always spark this stupid argument….
1. Kita cuma pake 10% otak.
Humans have so much potential! Kita Cuma pake 10% dari kemampuan otak kita! Kalau kita dapat menggunakan lebih dari itu, lebih sedikit saja, wow! Kita dapat menjadi orang yang lebih jenius dari Einstein sekalipun! I WILL CHANGE THE WORLD! Kita tinggal harus menemukan obat yang sesuai agar kita dapat menggunakan otak kita sepenuhnya! I’ve seen it in those asskickin’ movies! De Niro never lies!!

Kebenarannya:
We’re really really really sorry to ruin your fantasy that you actually have that very very strong potential inside your head. Tapi beginilah kenyataannya. Maaf telah merusak mimpi Anda bahwa Anda bisa tiba2 jadi jagoan kalau saat yang tepat itu tiba. Sorry it won’t happen.
Mitos yang jelas2 salah kaprah ini dimulai di jaman sebelum ada piranti-piranti khusus untuk memonitor kerja otak, hmmm, sekitar awal abad 20 dan sebenarnya adalah tulisan seorang filsuf William James yang percaya bahwa, “Kita hanya menggunakan sedikit bagian dari otak kita.” Setelah mengalami filtrasi oleh media (doh, again??), dan untuk mendukung bisnis beberapa orang, kata2 ini berubah menjadi, “the average person develops only 10 percent of his latent mental ability.” WOW! Media! SERIOUSLY????
Mitos ini juga sering diasosiasikan dengan orang2 terkenal yang disebut2 pernah mengatakannya. Albert Einstein disebut2 pernah mengatakannya untuk mendukung sebuah teori. Beberapa sumber mengatakan bahwa ini adalah misquotation, well, kami tidak menemukan apakah ini misquote atau bukan, but if he really said that, then we can say that there’s 1 time that Einstein is wrong

If you really think about it, secara logika, kalau kita memang hanya menggunakan 10% dari otak kita, kenapa orang yang otaknya terluka sedikit sudah menjadi sangat sakit dan aneh? Kenapa kita tidak buang saja itu 90% yang tidak terpakai saat berevolusi? Atau kalau kalian tidak percaya evolusi, kenapa Tuhan memberi kita 90% bagian yang tidak berguna ini? We might as well remove it with plastic surgery if we really don’t need it.
OK, secara scientific. I’m sure some of you will still insist. Dengan kemajuan teknologi, sekarang kita juga dapat memonitor kerja otak; dan dari bermacam-macam penelitian yang dilakukan, peneliti2 sudah menyimpulkan bahwa ini adalah mitos belaka. Brain scans menunjukkan bahwa otak kita selalu aktif dan bekerja, entah apapun yang kita lakukan. Beberapa tempat memang lebih aktif dari yang lain, tapi pada manusia normal yang tidak mengalami penyakit otak, hampir TIDAK ADA bagian otak yang tidak digunakan. Bahkan pada saat tidur, bagian-bagian dari otak Anda bekerja, yang mungkin membuat Anda sesekali memimpikan Aura Kasih.

So, very sorry, kamu tidak punya hidden potential yang kamu dapat keluarkan dengan pil ajaib atau teknik khusus yang dapat membuatmu tiba-tiba mengerti mekanika kuantum atau biochemistry, whatever they mean.
What you can actually do is to teach your brain to study. Kalau Anda menghabiskan 15% waktu Anda untuk bermain video game (sok) mengasah otak, 15% untuk mendengarkan Mozart, 15% untuk mencari cara membesarkan otak, 15% untuk Facebook, 15% untuk membaca artikel2 rubbish di internet, 15% untuk memimpikan Aura Kasih, dan hanya 10% untuk actually studying, ya, jangan harap nilai ujian Math for Advanced Space Traveling with Chewbacca Anda minggu depan membaik.

source

WISDOM

“Jikalau anda harus bekerja, maka bekerjalah untuk belajar. Jangan bekerja untuk uang.”

- Robert Toru Kiyosaki