Pejabat mestinya punya sense of crisis alias kepekaan sosial bukan malah narsis memamerkan kekayaan di depan rakyatnya yang miskin. Gaya hidup mewah yang dianut sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat menandakan bahwa pejabat-pejabat itu tidak memiliki kesadaran diri sebagai seorang pejabat publik. “Kalau pejabat publik, ada etika yang harus dipatuhi, merepresentasikan rakyatnya, apa yang mereka sampaikan harus memberi nilai,” kata pengamat parlemen dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang di Jakarta, Sabtu (19/11/2011).
Sebastian dimintai tanggapannya soal gaya hidup mewah anggota DPR. Beberapa anggota parlemen tengah menjadi sorotan masyarakat karena kepemilikan sejumlah mobil mewah. Menurut Sebastian, jika para pejabat itu memiliki kesadaran diri, mereka tidak akan menganggap bahwa mempertontonkan kekayaannya itu merupakan suatu hal yang wajar.
“Ada yang bilang ‘kalau saya kaya kenapa? Punya rumah mewah, kenapa’ dia lupa kalau dia itu pejabat publik,” tuturnya. Sikap pejabat yang demikian itu, menurut Sebastian, telah mereduksi makna suatu keberhasilan. Masyarakat yang menyaksikan mereka akan menganggap bahwa suatu keberhasilan hanya bisa diukur dengan kekayaan materi.
“Makna sukses atau berhasil semakin sempit. Sukses sekarang ini jadi dimaknai punya uang. Kalau dia datang ke daerah, dielu-elukan karena bagi-bagi duit, punya rumah, punya uang banyak, dihormati. Jutsru yang sederhana, pulang, itu malah tidak dihargai,” ungkapnya. Perilaku tersebut, tambah Sebastian, tidak memberikan teladan yang baik kepada masyarakat.
Sementara itu masih banyak rakyat miskin tersebar diseluruh penjuru tanah air tak berdaya dengan himpitan ekonomi yang semakin tak terjangkau
Senada dengan Sebastian, mantan anggota DPR, Yacobus Mayong Padang menilai, mempertontonkan kemewahan di masyarakat melanggar nilai-nilai Pancasila. “Kalau saya makan di sini enak-enak, tapi di depan saya ada yang kelaparan, kehidupan bermewah- mewah di masyarakat, itu melanggar Pancasila,” katanya. Menurut dia, gaya hidup hedonis tidak akan dianut para pejabat jika mereka bekerja berdasarkan cita-cita besar bangsa. Yacobus juga mengatakan, tidak semua anggota DPR bergaya hidup mewah.
“Ada juga anggota DPR yang masuk miskin, keluar tetap miskin sampai saat ini. Contohnya, kiai Ahmad dari Jember, dia naik bus ke Senayan, dan orangnya serius (bekerja),” kata Yacobus. Contoh lainnya, kata dia, rekan seangkatannya, Juned Musni. Anggota DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan daerah pemilihan Blitar, Jawa Timur itu disebutnya tidak pernah ganti mobil.
“Datang tahun 1999 dengan mobil butut, kembali lagi dengan mobil itu. Banyak anggota DPR yang serius, tapi juga banyak yang tampil dengan hedonis,” katanya. Yacobus sendiri mengaku kerap menyewa jasa ojek untuk berkantor di gedung parlemen. Olehkarena itu, dia menilai, tidak wajar jika ada anggota DPR yang mengatakan bahwa mobil mewah diperlukan untuk mempercepat kinerja. “Alangkah tidak wajarnya jika anggota DPR hidup bermewah-mewah di negeri ini,” tutur Yacobus.
Sebastian dimintai tanggapannya soal gaya hidup mewah anggota DPR. Beberapa anggota parlemen tengah menjadi sorotan masyarakat karena kepemilikan sejumlah mobil mewah. Menurut Sebastian, jika para pejabat itu memiliki kesadaran diri, mereka tidak akan menganggap bahwa mempertontonkan kekayaannya itu merupakan suatu hal yang wajar.
“Ada yang bilang ‘kalau saya kaya kenapa? Punya rumah mewah, kenapa’ dia lupa kalau dia itu pejabat publik,” tuturnya. Sikap pejabat yang demikian itu, menurut Sebastian, telah mereduksi makna suatu keberhasilan. Masyarakat yang menyaksikan mereka akan menganggap bahwa suatu keberhasilan hanya bisa diukur dengan kekayaan materi.
“Makna sukses atau berhasil semakin sempit. Sukses sekarang ini jadi dimaknai punya uang. Kalau dia datang ke daerah, dielu-elukan karena bagi-bagi duit, punya rumah, punya uang banyak, dihormati. Jutsru yang sederhana, pulang, itu malah tidak dihargai,” ungkapnya. Perilaku tersebut, tambah Sebastian, tidak memberikan teladan yang baik kepada masyarakat.
Sementara itu masih banyak rakyat miskin tersebar diseluruh penjuru tanah air tak berdaya dengan himpitan ekonomi yang semakin tak terjangkau
Senada dengan Sebastian, mantan anggota DPR, Yacobus Mayong Padang menilai, mempertontonkan kemewahan di masyarakat melanggar nilai-nilai Pancasila. “Kalau saya makan di sini enak-enak, tapi di depan saya ada yang kelaparan, kehidupan bermewah- mewah di masyarakat, itu melanggar Pancasila,” katanya. Menurut dia, gaya hidup hedonis tidak akan dianut para pejabat jika mereka bekerja berdasarkan cita-cita besar bangsa. Yacobus juga mengatakan, tidak semua anggota DPR bergaya hidup mewah.
“Ada juga anggota DPR yang masuk miskin, keluar tetap miskin sampai saat ini. Contohnya, kiai Ahmad dari Jember, dia naik bus ke Senayan, dan orangnya serius (bekerja),” kata Yacobus. Contoh lainnya, kata dia, rekan seangkatannya, Juned Musni. Anggota DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan daerah pemilihan Blitar, Jawa Timur itu disebutnya tidak pernah ganti mobil.
“Datang tahun 1999 dengan mobil butut, kembali lagi dengan mobil itu. Banyak anggota DPR yang serius, tapi juga banyak yang tampil dengan hedonis,” katanya. Yacobus sendiri mengaku kerap menyewa jasa ojek untuk berkantor di gedung parlemen. Olehkarena itu, dia menilai, tidak wajar jika ada anggota DPR yang mengatakan bahwa mobil mewah diperlukan untuk mempercepat kinerja. “Alangkah tidak wajarnya jika anggota DPR hidup bermewah-mewah di negeri ini,” tutur Yacobus.