Unic29.com - Tiap daerah di Nusantara mempunyai adat
yang berbeda dalam merawat tembuni (ari-ari) sewaktu bayi lahir. Di
Jawa sendiri terdapat beberapa variasi, ada yang ditanam sesegera
mungkin di rumah orang tuanya, ada yang dihanyutkan ke sungai atau laut,
ada juga setelah dimasukkan ke bejana tanah (kendil) kemudian digantung
pada blandar (tiang melintang) di dapur atau ruang tengah (sentong).
Perbedaan ini tidak menjadikan masalah, seperti di daerah Jogja dan
Solo kebanyakan tembuni diperlakukan dengan ditanam di tanah. Sementara
disebagian wilayah Karesidenan Kedu, khususnya Wonosobo, Karesidenan
Banyumas, serta di daerah sekitar Karanganyar dan Tawangmangu, para
orang tua lebih suka menggantung tembuni yang dimasukkan ke dalam bejana
tanah. Untuk sebagian daerah pesisir, cukup banyak orang yang lebih
suka menghanyutkan (melabuh) tembuni tersebut. Seprti yang dilansir
vivanews.
Meski ada beberapa macam cara memperlakukan tembuni, namun ada satu
kesamaan, yaitu setelah dicuci dan dibersihkan dengan hati-hati
menggunakan air bersih, tembuni dimasukkan ke dalam bejana tanah.
Kemudian disertakan juga beberapa ’uba-rampe’ ke dalamnya. Secara detail
tata-cara tersebut diuraikan dalam baris-baris Kidungan di bawah ini:
KIDUNGAN PANGRUKTINING ARI-ARI
(1) Bebukane golong-galing kaki (utawa : nini), putu banteng Wulung.
Kaki Among Nini Among kiye, lah tunggunen gusti arsa guling, sira sun opahi striya mujung.
(2) Kakang Kawah Adi Ari-ari payo pada nglumpuk.
mBok Nirbiyah lan Diah den age, batok bolu lan uyah ywa kari, lan arta rong duwit, dome aja kantun.
(3) Beras abang lawan lenga wangi, miwah gantal loro.
Tetulisan Arab lan Jarwane, den lebokken ing kendil tumuli, nganggo lawon putih, karya lemek iku.
Tiga bait Kidungan di atas menerangkan secara gamblang perlengkapan
apa saja yang harus dimasukkan ke dalam bejana tanah bersama tembuni
Sang Bayi, yaitu: garam, uang sepasang, jarum yang tajam, beras merah,
gantal (sirih yang digulung dana diikat) dua ikat, kertas yang
bertuliskan huruf Arab, Latin dan Jawa. Sebelumnya dipersiapkan dahulu
kain mori putih secukupnya sebagai alas tembuni dan berbagai
perlengkapan yang menyertainya. Kemudian minyak wangi disiramkan
secukupnya, kain putih dari ujung ke ujung ditangkupkan dengan rapi,
terakhir kendil ditutup dengan tutupnya.
Garam merupakan simbol kehidupan, dan nantinya si anak jika besar
akan mampu ’menggarami’ dunia, agar menjadi tempat yang nikmat dan enak
bagi siapa saja bak rasa masakan yang lezat. Uang menggambarkan harapan,
kelak nanti sang Anak tidak akan kekurangan dalam hal materi. Berjumlah
sepasang, agar dalam mencari materi dia tetap menjaga hubungan baik
dengan orang-orang disekelilingnya, tidak asal ’tabrak’ dan juga agar
tidak lupa bersedekah jika lebih.
Jarum yang tajam adalah gambaran pikiran yang tajam dari sang anak.
Beras merah meyimpan harapan agar sang anak tidak pernah kekurangan
pangan. Dipilih Beras Merah dengan maksud apa yang dimakan memberikan
kekuatan dan kesehatan bagi sang bayi. Beras Merah juga menggambarkan
kejujuran dalam berusaha, dan lambang keterikatan dengan keluarga.
Sedang warna merah sendiri dalam budaya Jawa menggambarkan sisi
keduniawian dari kehidupan. Kertas bertuliskan huruf Arab, Jawa dan
Latin, dimaksudkan agar sang anak akan menjadi anak yang beragama,
cerdas secara spiritual, emosi dan rasio. Gantal (sirih) menjadikan anak
tumbuh sehat dan kuat, serta kelak akan mendapat jodoh yang ideal.
Kesemuanya itu beserta tembuni dimasukkan kedalam mori putih, sebagai
lambang kepasrahan kepada Yang Maha Esa atas segala doa dan harapan yang
dibubungkan dan daya upaya yang telah dilakukan.
Selanjutnya kita simak lanjutan Kidungan di atas tersebut sebagai berikut:
(4) Kutu-kutu walang ataga sami, bareng laringong.
Kang gumremet kang kumelip kabeh, lah tunggunen gusti arsa guling sira sun opahi, jenang sungsum telu.
(5) Dandanane saking suwarga di, batok isi konyoh.
Batok tasik tapel lan pupuke, ana nggawa bokor lawan kendi, ana nggawa maning kebut wiyah payung.
(6) Widadari gumrubyung nekani pra samya amomong ana ngreksa in kanan kering.
Ana nggawa kasur lawan guling kajang sirah adi, kemul sutra alus.
(7) Benjang lamun bayi neka nangis, ingembana gupoh.
Marang latar pojok lor prenahe, pra leluhur rawuh anyuwuki, meneng aja nangis, jabang bayi turu.
Bait 4, menyatakan agar si Orang Tua membuat bubur sumsum sebagai
sarana penolak segala penyakit dan bahaya. Kemudian di saat akan
menananam kendil berisi tembuni, Bapak dan Ibu harus berdandan rapi
seperti akan pergi ke pesta. Kendil di gendong menggunakan selendang,
dan dilambari kasur kecil lengkap dengan bantal dan gulingnya, serta
diselimuti sutra halus. Sang Ayah berdiri di sampingnya sambil memayungi
Sang Ibu yang menggendong kendil berisi tembuni, di tangan satunya
membawa kebutan.
Selanjutnya kendil tersebut dimasukkan ke dalam lubang tanah yang
telah disiapkan dan ditimbun dengan rapi. Bila malam datang, tepat di
atas timbunan itu diberi lampu minyak tanah (senthir), dan agar tidak
mati tertiup angin ditutupi oleh kendil yang dibalik yang telah
dilubangi dasarnya. Biasanya pemasangan senthir ini dilakukan minimal 35
hari (selapan) dan kadang sampai 3 bulan lamanya.
Dalam bait terakhir, dinyatakan apabila kelak sang bayi menangis
terus. Maka orang tua harus menggendongnya ke pojok utara pekarangan
rumahnya, dengan maksud agar para leluhur datang untuk menghibur bayi
agar tenang.