Berdasarkan
survey Pew Research Center pada 2008, sebelum terjadi krisis yang
mengguncang Amerika Serikat dan merembet ke ekonomi global itu,
mayoritas orang di
seluruh dunia memandang AS sebagai penguasa ekonomi dunia.
Saat itu meski sudah ekspansi besar-besaran selama beberapa dekade,
China hanya mendapat separuh suara responden dibanding AS. Namun waktu
mengubah segalanya. Krisis keuangan yang disusul resesi mengubah
persepsi tentang AS.
AS tidak lagi dipandang 'kebal'.
Menurut 26.000 orang dari 21 negara berbeda yang diwawancara Pew
Research Center, gelar penguasa ekonomi dunia sekarang direbut oleh
China. Memang, masih banyak penduduk China yang hidup di bawah garis
kemiskinan dan sebagian besar ekonomi daerahnya didominasi pertanian.
Meski tidak sesuai dengan karakter tradisional sebuah negara adikuasa
ekonomi, China berkembang sangat cepat hingga hampir menyamai AS dalam
kerangka kesehatan ekonomi global. Kita tidak bisa meremehkan China
lagi. Mengapa?
Berikut ini 10 alasan mengapa China bisa
merebut status penguasa ekonomi dunia dari AS, seperti dilansir dari
DailyFinance, Jumat (20/7/2012):
China adalah manufaktur terbesar di dunia
Butuh 160 tahun hingga akhirnya pada 2011 China bisa mengklaim dominasinya sebagai pemimpin
output manufaktur di seluruh dunia. Output
manufaktur China ke dunia mencapai 19,9%, sementara Amerika 19,4%.
Dengan demikian, China telah merebut gelar sebagai manufaktur terbesar
di dunia yang selama 110 tahun dipegang oleh AS.
Kesuksesan
China bertumpu pada dua keuntungan komparatif yang tidak dimiliki AS.
Pertama, China punya jumlah tenaga kerja yang luar biasa besar. Dengan
lebih dari 89 juta penduduk yang terlibat di produksi industri, tentu
jumlah output yang bisa dihasilkan China jauh lebih besar dibandingkan AS.
Kedua, upah buruh China lebih murah dibanding buruh AS. Pemerintah AS mengatur upah minimum
federal
sebesar US$ 7,25 (Rp 68.875) per jam. Sementara peraturan upah minimum
China berbeda-beda di ke-31 provinsinya. Dari yang terendah 600 yuan (Rp
900.000) per bulan hingga yang tertinggi 1.450 yuan (Rp 2.175.000) per
bulan.
China punya utang AS lebih banyak daripada warga AS sendiri
Berutang tidak pernah bagus. Di Eropa, utang jadi subyek yang
sensitif. Yunani, Irlandia, Portugal dan Spanyol tersandung tumpukan
utang yang amat tinggi. Hal ini membuat warga AS berpikir, apakah negara
mereka juga menuju ke arah yang sama?
Ketika pemerintah AS
memutuskan untuk menaikkan plafon utang Agustus 2011 untuk yang ke-78
kalinya sejak 1960, total utang AS mencapai US$ 14.3 triliun (Rp 135.850
triliun). Hampir US$ 10 triliun dimiliki oleh individual dan korporasi,
juga pemerintah negara bagian, lokal dan asing.
Menurut
statistik pemerintahan AS sepanjang pertengahan 2011, China merupakan
pemegang utang publik terbesar dengan US$ 1,13 triliun. Sedikit lebih
tinggi daripada kepemilikan warga AS dan korporasi yakni US$ 1,11
triliun.
China berada satu peringkat di belakang
Social Security Trust dan Federal
Reserve dalam rangka kepemilikan utang AS. Seiring makin terjerumusnya
AS ke dalam tumpukan utang, China siap terus mengumpulkan bunganya.
China adalah konsumen energi terbesar di dunia
AS mungkin masih jadi negara ekonomi terbesar dari segi GDP. Tapi
sejak 2010, AS tidak lagi mengonsumsi minyak sebesar China. Pesatnya
industrialisasi China jadi salah satu alasan utama harga minyak naik
drastis selama beberapa dekade terakhir.
GDP terkait langsung dengan konsumsi pribadi sementara pertumbuhan China didorong oleh sektor manufaktur dan pembangunan
infrastruktur terus menerus. Keduanya sama-sama segmen yang erat dengan energi.
Meski China masih bergantung pada batubara sebagai sumber penghasil
energinya, kebutuhan minyak buminya juga meningkat. Arab Saudi sebagai
eksportir minyak mentah terbesar sekarang lebih banyak mengapalkan
produksinya ke China daripada AS. Saudi juga mempertimbangkan China
ketika mengambil keputusan untuk meningkatkan produksinya atau tidak.
Aktivitas China di luar negeri juga berpengaruh. Saat ekspansi
perusahaan-perusahaan AS dihambat oleh politik, China sudah menyetujui
pembangunan kilang di Iran. Salah satu usaha ekspansi China yang lebih
besar adalah ketika perusahaan minyak berbasis di China, CNOOC berusaha
masuk ke pasar AS dengan menawar Unocal pada 2005.
Langkah ini berhasil dihadang dan
Chevron
yang memenangkan tawar menawar perusahaan minyak raksasa milik
pemerintah tersebut. Usaha China menguasai pasar energi baru saja
dimulai.
China berada dalam laju untuk jadi ekonomi terbesar dunia dalam kurun 10 tahun (bahkan kurang)
Saat ini AS jadi negara ekonomi terbesar berdasarkan GDP, tapi tak
lama lagi posisi mereka akan disalip oleh China. Sejak 1980, pertumbuhan
ekonomi China setiap tahunnya rata-rata 10,02%.
Bila
menggunakan perkiraan tingkat pertumbuhan 7,5% seperti yang diprediksi
Perdana Menteri Wen Jiabao pada Maret lalu, pada 2019 China akan
menyalip pertumbuhan GDP AS yang rata-rata 2,67% dalam periode yang
sama.
Bahkan meskipun ekonomi China melambat jadi 5%
(sesuatu yang sangat langka jika dilihat dari perspektif sejarah),
mereka masih bisa mengalahkan total GDP AS pada 2011. Inilah performa
prima yang amat langka dan tidak bisa dianggap remeh.
China siap jadi importir logam berharga terbesar di dunia
Seperti yang bisa dibayangkan, karena China menitikberatkan sektor
manufaktur maka permintaan logam berharga seperti tembaga, emas dan
perak meningkat drastis. Penggunaan logam berharga bisa diaplikasikan
dimana-mana, mulai dari konstruksi hingga manufaktur elektronik dan
kebutuhan China tak pernah terpenuhi.
China menggeser AS
dari segi konsumsi tembaga pada 2002 dan penggunaannya sekarang mencapai
empat kali lipat setiap tahunnya. Produsen tembaga seperti
Freeport-McMoRan Copper & Gold menganggapa China sebagai konsumen
terbesarnya. Freeport bergantung pada tingkat permintaan China untuk
menentukan harga tembaga dan inilah cara utama mereka menangguk profit.
Emas juga semakin diminati sebagai produk investasi di China dengan
tingkat inflasi tinggi mengancam penurunan nilai pendapatan buruh.
Sepanjang 1950 – 2003, pemerintah China melarang rakyatnya memiliki emas
batangan. Jadi masyarakat China belum lama menikmati investasi emas.
Menurut Wall Street Journal, butuh 8 tahun bagi China untuk melampaui
India dalam investasi emas sejak larangan itu dicabut.
Dua dari 10 perusahaan paling bernilai di dunia berbasis di China
PetroChina (migas) dan China Unicom (teknologi) masing-masing berada
di peringkat 5 dan 8 perusahaan terbesar dunia per minggu kedua Juli.
Mungkin kedengarannya tidak begitu mengesankan.
Tapi jika mempertimbangkan posisi
Industrial and Commercial Bank of China
dan China Construction Bank yang tidak jauh dari 10 besar, kita mungkin
akan menyadari dominasi China sebagai kekuatan ekonomi baru.
Hal ini sangat penting karena mengisyaratkan kemungkinan pergeseran
dominasi AS. Dengan tujuh perusahaan AS masuk dalam 10 besar perusahaan
terbesar dunia, maka AS tak akan begitu mudahnya 'mengalah'.
China dengan pembangunan infrastruktur
besar-besaran dan ekspansi internasionalnya akan memberikan keuntungan
pertumbuhan sangat tinggi bagi PetroChina dan Unicom dibandingkan
perusahaan raksasa AS yang pertumbuhannya mulai seret.